Selasa, 15 November 2011

sore yang menjengkelkan...

Siang hari panas begitu teriknya, begitu sangat menyengat di tubuhku setelah aku keluar dari gedung management selepas tes interview, Sejenak ku istirahat di kantin masjid sambil menunggu dhuhur tiba, menikmati makan siang bersama rekan-rekan. Dhuhurpun tiba kami sholat berjamaah. Sehabis dhuhur kami berbincang-bincang di serambi masjid bersama sahabatku. lama kami berbincang mengenai apa yang masing-masing ditanyakan dalam interview, kami saling bertukar pendapat mengenai jawaban masing-masing yang di tanyakan.., Perasaan grogi, dag-dig-dug, nggak PD salah ngomong, keceplosan menjadi bahan pembicaraan kami, padahal kami telah sering melakukan interview tapi tetep aja perasaan itu tetep aja muncul..,sahabatku bilang kpdaku menentramkan hati “usaha telah kita lakukan, sekarang tinggal berdo’a semoga Allah memberikan kelulusan “ Amiin.., ‘”jawabku spontan”

Setelah lama kami ngobrol temenku mengajakku tuk pulang” Pulang yukk..”,
Tapi laptopku masih tertinggal di dalam nich, lupa nggak kubawa sekalian tadi..,jawabku”
kamu mau ambil dulu ke dalam”balasnya..
“tapi kok panas banget ya siang ini, males nih mau ngambil, ntar sore aja lah.., sore ini kita kan kesini lagi,

Jumat, 04 November 2011

Syarat Sah Perjanjian

Penjajian harus memenuhi beberapa syarat tertentu supaya dapat dikatakan sah. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, ada empat syarat yang harus dipenuhi supaya suatu perjanjian sah, yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan diriny
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
c. Mengenai suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal. Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orang atau subyek-subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Secara ringkas masing-masing syarat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak

Pengertian Hukum

Unsur- unsur hukum meliputi :
a.       Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam bermasyarakat
b.      Peraturan tersebut dibuat oleh badan yang berwenang
c.       Peraturan itu secara umum bersifat memaksa
d.      Sanksi dapat dikenakan bila melanggarnya sesuai dengan ketentuan atau perundang-undangan yang berlaku.
Dari unsure-unsur tersebut sehingga hukum itu berisikan peraturan dalam kehidupan bermasyarakat, hukum itu diadakan oleh badan yang berwenang yakni badan legislatif dengan persetujuan badan eksekutif begitu pula sebaliknya, secara umum hukum itu bersifat memaksa yakni hukum itu tegas bila dilanggar dapat dikenakan sanksi ataupun hukumna sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sumber hokum dari mana saja,
Sumber-sumber hukum formal,yaitu:
a.       Undang-undang (Statute)
b.      Kebiasaan (Custom)
c.        Keputusan Hakim (Jurisprudentie)
d.      Traktat (Treaty)
e.       Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)
 Siapa saja yang dapat melakukan tindakan hokum dan obyek hokum dalam sebuah perjanjian?
Subyek hukum adalah setiap makhluk yang berwenang untuk memiliki, memperoleh, dan menggunakan hak-hak kewajiban dalam lalu lintas hukum.
Subyek hukum terbagi menjadi 2 yaitu manusia biasa dan badan hoku
a.       Manusia Biasa
Manusia biasa (natuurlijke persoon) manusia sebagai subyek hukum telah mempunyai hak dan mampu menjalankan haknya dan dijamin oleh hukum yang berlaku dalam hal itu menurut pasal 1 KUH Perdata menyatakan bahwa menikmati hak kewarganegaraan tidak tergantung pada hak kewarganegaraan
b.      Badan Hukum
Badan hukum (rechts persoon) merupakan badan-badan perkumpulan yakni orang-orang (persoon) yang diciptakan oleh hukum.



Riba


Kata riba dari segi bahasa berarti “kelebihan”. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya. Dan inilah yang disebut riba nasi’ah. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.
Dalam Al-Quran ditemukan kata riba terulang sebanyak delapan kali, terdapat dalam empat surat, yaitu Al-Baqarah, Ali ‘Imran, Al-Nisa’, dan Al-Rum. Tiga surat pertama adalah “Madaniyyah” (turun setelah Nabi hijrah ke Madinah), sedang surat Al-Rum adalah “Makiyyah” (turun sebelum beliau hijrah). Ini berarti ayat pertama yang berbicara tentang riba adalah Al-Rum ayat 39: Dan sesuatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar ia menambah kelebihan pads harts manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.
Adapun pada surat Al-Baqarah ayat 275, 276, 278 dan 279. Di dalam ayat-ayat tersebut terdapat keterangan yang mengharamkan riba secara mutlak, jelas dan tegas, tidak terapat keraguan lagi. Kedua tahapan yang terakhir menjelaskan bahwa riba dalam jenis dan bentuk apa pun tetap haram dan tidak diperbolehkan mengambil dan memakannya. Bahkan Allah SWT memerintah manusia untuk meninggalkan sisa riba yang berlipat ganda yang belum dipungut.
Islam mengharamkan riba dalam segala bentuknya. riba pada masa turunnya Al-Quran adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau penambahan jumlah utang.

Bagaimana Islam menjelaskan tentang ekonomi Islam.

Islam di bagi menjadi 3
1.      Aqidah
Ekonomi Islam pengaturannya bersifat ketuhanan/ilahiah, mengingat dasar-dasar pengaturannya yang tidak diletakkan oleh manusia, akan tetapi didasarkan pada aturan-aturan yang ditetapkan Allah s.w.t. sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Jadi, berbeda dengan hukum ekonomi lainnya yakni kapitalis dan sosialis yang tata aturannya semata-mata didasarkan atas konsep-konsep/teori-teori yang dihadirkan oleh manusia (para ekonom).
Ekonomi Islam itu pada dasarnya dari akidah Islamiah sehingga akan dimintakan pertanggung-jawaban terhadap akidah yang diyakininya. Atas dasar ini maka seorang Muslim (menjadi) terikat dengan sebagian kewajibannya semisal zakat, sedekah dan lain-lain walaupun dia sendiri harus kehilangan sebagian kepentingan dunianya karena lebih cenderung untuk mendapatkan pahala dari Allah s.w.t. di hari kiamat kelak. Ketika ia tidak menunaikannya ia akan merasa berdosa.

2. Akhlaq
Terkait erat dengan akhlak, Islam tidak pernah memprediksi kemungkinan ada pemisahan antara akhlak dan ekonomi, juga tidak pernah memetakan pembangunan ekonomi dalam lindungan Islam yang tanpa akhlak. Itulah sebabnya mengapa dalam Islam kita tidak akan pernah menemukan aktivitas ekonomi seperti perdagangan, perkreditan dan lain-lain yang semata-mata murni kegiatan ekonomi sebagaimana terdapat di dalam ekonomi non Islam. kegiatan ekonomi sama sekali tidak boleh lepas dari kendali akhlaq (etika-moral) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari ajaran Islam secara keseluruhan.

3.Syariah
Dalam syariah antara lain dapat dilihat dari kenyataan bahwa Islam mengharamkan praktek bisnis yang membahayakan umat insani apakah itu bersifat perorangan maupun kemasyarakatan seperti pengharaman riba, penipuan, perdagangan khamr dan lain-lain. Dalam hal-hal tertentu, sangat dimungkinkan terjadi pengecualian atau bahkan penyimpangan dari hal-hal yang semestinya. Misalnya, dalam keadaan normal, Islam mengharamkan praktek jual-beli barang-barang yang diharamkan untuk mengonsumsinya, tetapi dalam keadaan darurat (ada kebutuhan sangat mendesak)

Konsep Ekonomi Islam


Konsep Ekonomi Islam menurut saya, adalah segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya yang dilakukan dengan cara yang teratur, berdasarkan pandangan Islam. Konsepnya dibangun diatas landasan yang kokoh yang merupakan warisan yang tak ternilai sebagai wasiat utama bagi umat Islam yang tidak mungkin manusia akan tersesat selamanya selama berpegang kepada dua wasiat itu yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Para ulama baik dari kalangan ahli fiqih, ahli hadis, maupun ahli tafsir telah banyak menukilkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang berkenaan dengan prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam. Kesemuanya memberikan gambaran yang utuh tentang otensitas ajaran Islam dalam mengatur berbagai asfek kehidupan termasuk di dalamnya dalam urusan muamalah dalam hal ini tentang urusan ekonomi Islam.
Sumber pedoman ekonomi Islam adalah al-Qur’an dan sunnah Rasul, di antaranya yaitu dalam:
1.      Qs.al-Ahzab:72 (Manusia sebagai makhluk pengemban amanat Allah)
2.      Qs.Hud:61 (Untuk memakmurkan kehidupan di bumi).
3.      Qs.al-Baqarah:30 (Tentang kedudukan terhormat sebagai khalifah Allah di bumi).
Hal-hal yang tidak secara jelas diatur dalam kedua sumber ajaran Islam tersebut diperoleh ketentuannya dengan jalan ijtihad.

Akad dan prinsipnya

Akad berarti ikatan antara ijab dan qobul yang diselenggarakan menurut ketentuan syariah di mana terjadi konsekuensi hukum atas sesuatu yang karenanya akad di selenggarakan.
Prinsipnya :
Dalam hubungananya dengan jual beli akad ada tiga; yaitu aaqid (orang yang menyelenggarakan akad seperti penjual dan pembeli), harga dan barang yang ditransaksikan (ma’qud alaih) dan shighotul aqd.
Ijab dan qobul ini sangat penting karena menjadi indikator kerelaan mereka yang melakukan akad. ijab dan qobul ini adalah komponen dari shighotul aqd yaitu ekspresi dari dua pihak yang menyelenggarakan akad atau aaqidan ( pemilik barang dan orang yang akan dipindahkan kepemilikan barang kepadanya) yang mencerminkan kerelaan hatinya untuk memindahkan kepemilikan dan menerima kepemilikan. Jadi, setiap
akad, shighot akad harus selalu diekspresikan karena merupakan indikator kerelaan dari aaqidan.
Pihak yang menyelenggarakan akad ini dapat sebagai pembeli atau penjual atau orang yang memiliki hak dan yang akan diberi hak. Keduanya mempunyai syarat yang sama yaitu, pertama, berakal atau mumayyiz.
Syarat barang yang di jual belikan: Barang atau harga harus suci dan tidak najis atau terkena barang najis yang tidak dapat dipisahkan. Kedua, barang dan harga tersebut harus benar-benar dapat dimanfaatkan secara syar’i. Ketiga, barang yang dijual harus menjadi milik dari penjual saat transaksi tersebut diselenggarakan Keempat, barang tersebut harus diketahui karakteristik dan seluk beluknya.
Dengan memandang apakah akad itu memenuhi syarat dan rukunnya atau tidak, dapat dibagi menjadi dua yaitu akad sah dan akad tidak sah. Akad sah adalah akad yang diselenggarakan dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya. akad tersebut yaitu perpindahan hak milik. Sedangkan akad yang tidak sah adalah akad yang salah satu rukun atau syarat pokoknya tidak dipenuhi. Dengan kata lain tidak terjadi transaksi.